Kamis, 27 Februari 2014

Dear Jogjakarta - 1

"Siapa suruh datang di Jogja"
"Siapa suruh datang di Jogja"
"Sendiri suka, sendiri rasa"

Diawali dengan lagu koes plus yang sudah aku aransemen sendiri, hahahaha

Aku sudah tinggal di jogjakarta hampir 5 tahun. Dan di kota ini juga aku putus dengan pacarku, inisialnya Vhina, ya...alasan klasik sebenarnya karena gk kuat LDR. Dan saat ini, saat entri ini kutulis, adalah tahun dimana Pak SBY mau tidak mau harus turun dari jabatannya. Bukan, bukan karena kerjanya tak becus, tapi memang sudah waktunya. Namun soal tak becus itu, sedikit banyak ada benarnya sih. yak, memang benar....

Maafkan jika anda menjadi salah sangka. Artikel ini memang bukan dibuat untuk membahas Bapak Presiden. Ini murni kesalahanku sebagai penulis. Tolong dimaafkan dan lupakan.

Mari kembali ke tujuan awal...
Dengan waktu tinggal dan bersekutu bersama alam dan masyarakat Yogyakarta yang relatif lama itu, sudah banyak hal dan pengalaman aku dapatkan. Ada sedih, duka, murung, senang, suka dan senyum. Berbagai keberuntungan dan kesialan tersusun bagai kepingan-kepingan puzzle membentuk kenangan.

Memang, harus kuakui, keberuntungan yang kudapatkan di kota ini tak sebanyak apa yang mereka dapatkan oleh orang-orang yang tinggal di ibu kota. Malah sebaliknya, kesialan justru banyak menghampiri.

Sangat sial rasanya tinggal di kota ini, yang relatif sangat lancar dan aman, yang membuat aku dapat tinggal dengan nyaman. Anda bingung? Baiklah akan coba kujelaskan.

Ada beberapa kesialan yang kudapatkan di kota ini. Terlebih apabila dibandingkan dengan keberuntungan yang didapat oleh mereka yang tinggal di ibu kota.

Kesialan pertama, jarang sekali macet berarti yang menghambat lalu lintas di sini, yang memaksa aku harus selalu tepat waktu bila janjian bertemu seseorang. Aku tak seberuntung penduduk ibu kota yang bisa datang terlambat dan bilang “Sorry, kejebak macet.” dengan mudah.
Sialnya, jadilah aku sekarang orang yang sangat sering ontime.

Kesialan kedua, harga makanan yang sangat murah, membuat uangku tak sering habis hanya karena mengisi perut di sini. Ada banyak burjo, angkringan, lesehan dan warung makan lainnya yang selalu siap menerima kedatanganku tanpa membuat tersiksa dompet. Aku tak seberuntung mereka yang tinggal di ibukota, yang dapat menghabiskan uangnya dengan cepat untuk membeli makanan dengan banyak pilihan restoran-restoran mewah. 
Sialnya, jadilah aku pelit dan perhitungan soal biaya konsumsi makanan.

Kesialan ketiga, masyarakat Jogja yang sangat ramah, yang sangat rajin menyapa atau sekedar melempar senyum bahkan kepada orang yang tak dikenal, membuat aku, orang yang tadinya cuek dan tak terlalu peduli sekitar, mau tak mau harus menyempatkan waktu membalas sapa dan senyum mereka. Aku lagi-lagi tak seberuntung masyarakat ibukota, yang tak perlu buang-buang waktu untuk menyapa, melepar senyum, membalas sapaan dan senyuman orang-orang di sekitarnya. 
Sialnya, jadilah aku orang yang lebih peka, yang semakin peduli sekitar dan sesama.

Kesialan keempat, jarang sekali terjadi tindak kriminal, penipuan, pencurian dan pembunuhan di sini, yang membuat aku tak perlu was-was dan cemas dengan sekitar. Aku tak seberuntung orang-orang di ibukota, yang sering mengalami atau menjadi saksi perbuatan jahat, sehingga perlu selalu waspada dan curiga pada setiap orang. 
Sialnya, jadilah aku orang yang mudah menaruh kepercayaan kepada orang sekarang.

Kesialan kelima dan anggap saja terakhir, tinggal lama di daerah yang apa-apa murah, orang-orang yang ramah dan bisa dipercaya, kehidupan harmonis dan berbaur tanpa memandang SARA, membuat aku nyaman dan tentram. Aku tak seberuntung mereka yang di ibukota, yang sehari-hari berhadapan dengan banyak tekanan dan masalah, sehingga sudah terbiasa. Pindak ke kota lain tentu tak masalah bagi mereka, sebab kota terparah sudah ditaklukkan dengan mudah. 
Sialnya, aku menjadi sulit pindah dari Jogja.

Dan tahun ini 2014, aku telah menyelesaikan misi pendidikan-ku di Jogja. Sesuai hukum tak tertulis, aku seharusnya kembali ke kampung halaman, atau mencari pekerjaan di kota lain, atau apapun asal tidak terus menetap di Jogja. Aku harus pergi untuk digantikan mahasiswa rantau lain. Dengan demikian Jogja akan seimbang dan selalu sama.

Aku bisa terima jika ada yang bilang Jogja sekarang semakin penuh. Sesekali macet mulai terjadi di beberapa jalanan. Orang-orang mulai mengeluhkan kenyamanan Jogja yang berkurang.

Aku tau bahwa penyebabnya sangat banyak. Perkembangan ekonomi, bisnis hingga pendidikan membuat orang berbondong-bondong datang ke Jogja. Namun yang pergi tak sebanyak yang datang. Sebagai orang yang harusnya pergi, aku menyadari bagian dari penyebab masalah.

Aku tak pernah mengeluh soal Jogja yang katanya mulai tak nyaman. Aku juga heran dengan beberapa mahasiswa tua dan alumni yang terus menetap di Jogja yang ikut-ikutan mengeluh. Ibu Ani Yudhoyono kan tak mungkin mengeluh soal negara yang semakin bobrok. Dia bagian dari penyebabnya.

Seorang kawan yang lulus dan diterima kerja di kota lain, menangis di bandara saat meninggalkan Jogja. Dalam hati aku bernyanyi, “Siapa suruh datang ke Jogja!” yak, kalo kalian tahu bukan seperti itu liriknya, tapi ya..... *abaikan*

Dan begitulah. Aku terus merasa nyaman tinggal di kota ini walau dengan berbagai kesialan-kesialan itu. Aku sadar, bahwa mau tidak mau suatu saat aku harus meninggalkan kota ini. Cepat atau lambat, aku harus siap.

Pindah ke ibu kota? Tentu menarik. Aku ingin mencoba jadi orang beruntung seperti mereka.. :)

best regard : 
-Miss you D'Jenakers Family-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah anda baca, gila tidak ditanggung ^^